Jumat, 21 Juni 2013

BUDAYA BALI


KEBUDAYAAN BALI
Bali merupakan tempat kelahiran dari Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai (lahir di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda, 30 Januari 1917 – meninggal di Marga, Tabanan, Bali, Indonesia, 20 November 1946 pada umur 29 tahun) adalah seorang pahlawan Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali. Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama "Ciung Wenara" melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa bali, berarti "habis-habisan", sedangkan Margarana berarti "Pertempuran di Marga"; Marga adalah sebuah desa ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali)
Selain itu bali terkenal dengan kebudayaannya, bali berbatasan dengan Laut Bali di sebelah utaranya, sebelah timur berbatasan dengan Selat Lombok (Povinsi Nusa Tenggara Barat), sebelah barat berbatasan dengan Selat Bali (Povinsi Jawa Timur), sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km.
Lambang Daerah Bali berbentuk segi lima dengan warna dasar biru tua dengan garis dipinggir putih. Di dalam segi lima ini terdapat lukisan-lukisan yang merupakan unsur dari lambang, yaitu bintang kuning emas yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, candi yang tertera di tengah-tengah ialah diambil dari candi Margarana yang melabangkan jiwa kepahlawanan rakyat Bali dalam menentang penjajah, candi bentar yang artistic merupakan lambing keagamaan rakyat Bali, rantai yang melintang dari kiri ke kanan melambangkan persatuan dan jiwa gotong-royong , kipas yang terlukis sebelah kiri dan kanan bunga teratai melambangkan kesenian dan kebudayaan daerah Bali, bunga teratai (padma) yang terlukis sebagai dasar di bawah candi melambangkan singgasana Ciwa, padi dan kapas melambangkan kemakmuran.
Warna yang terpakai dalam lambang seperti: biru tua yang mendasari lambing ini, yang disertai tulisan “Bali Dwipa Jaya”, berarti ‘toleransi’, kuning emas yang mewarnai gambar bintang, candi, candi bentar, pinggiran padi, kapas dan kipas ini melambangkan maksud yang luhur dan agung, merah yang mewarnai gambar rantai, padma di muka candi mengandung arti sifat yang perwira; dan putih yang mewarnai dasar tulisan, bunga kapas, buah padi, dan pinggiran lambing berarti suci.
Bahasa Bali adalah bahasa masyarakat Bali. Bahasa itu juga salah satu unsur budaya nasional bangsa Indonesia. Bagi rakyat Bali selain berfungsi sebagai alat komunikasi vocal, juga berfungsi sebagai penunjuk identitas rakyat Bali. Bahasa Bali sangat menarik sejumlah peneliti, baik peneliti asing, maupun peneliti bangsa Indonesia. Peneliti bangsa Indonesia terutama peneliti penutur bahasa Bali yang umumnya berdomisili di Bali.
Fungsi bahasa Bali seperti dirumuskan dalam polotik bahasa nasional (Halim (edit.) 1976 : 146 ) adalah lambang kebanggaan daerah Bali, identitas daerah Bali, pendukung bahasa nasional Indonesia, alat penghubung dalam keluarga etnik Bali, bahasa pengantar di sekolah-sekolah dalam kelas tertentu, dan juga alat pengembangan kebudayaan Bali. Bahasa Bali sebagai pendukung bahada nasional Indonesia berfungsi untuk mengembangkan kosa kata bahasa Indonesia. 
Di bali seni tari digolongkan ke dalam seni teater yang mengandung tiga unsur, yakni penonton, tempat, pemain. Oleh karena itu teater meliputi seluruh seni pertunjukan yang terdiri dari seni pentas (drama), seni tari, seni music (karawitan) dan seni gerak lainnya. Tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah” (Soedarsono, tanpa tahun :17).
Terdapat beberapa jenis tari yang mempunyai fungsi tertentu seperti tari pendet yang berfungsi sebagai tari penyambutan yang ditunjukan kepada bhatara-bhatari yang turun ke mrcapada (dunia) dalam suatu upacara atau manyembrama (menerima) kedatangan-Nya dari Melasti (menyucikan pralingga), tari rejang berfungsi sebagai symbol bidadari yang turun ke dunia menuntun bhatara waktu melasti atau tedun ke peselang (turun ke temapat upacara), oleh karena itu penari-penarinya terdiri dari gadis-gadis yang belum kawin (Putra, tanpa tahun : 9 ). Di Bali Utara desa Bungkulan, rejang-renteng (bergandengan dengan benang) berfungsi sebagai tari penyambutan terhadap dewi Cri sebagai pernyataan bersyukur karena berhasilnya panen padi.
Di Bali terdapat berbagai jenis perangkat/ansambel gamelan yang sudah berusia ratusan tahun yang merupakan peninggalan dari zaman kerajaan Bali dan ada pula buatan akhir-akhir ini pada abad ke-20.
Ada gambelan yang hanya mengiringi upacara saja, ada ansambel yang berfungsi sebagai pengiring tarian-tarian, baik  tari lepas, tari lakon, maupun sendratari.  Dibawah ini beberapa jenis gambelan mempunyai fungsi sebagai berikut.
a.    Gong Gede disamping ditabuh secara instrumental sebagai pengiring suatu upacara agama, berfungsi pula sebagao pengirinh berbagai jenis ari baris gede yang digolongkan tari wali (dewayadnya),
b.     Angklung untuk pengiring upacara pitrayadnya (orang meninggal, ngaben, mukur, dan sebagainya),
c.     Gambang pada umumnya untuk mengiringi Upacara ngaben, kecuali di daerah Karangasem yang berfungsi pula di dalam Dewayadnya,
d.     Gender Wayang dan Semara Pegulingan pada umumnya berfungsi mengiringi upacara Manusiayadnya (ualang tahun, Potong gigi, perkawinan),
e.     Balaganjur/Paleganjur di samping berfungsi sebagai pengiring upacara mecaru (buthayadnya) juga untuk Dewayadnya.
Di bali terdapat tempat atau bangunan sebagai tempat pemujaan seperti Meru untuk tempat pemujaan, bale mten untuk tempat tinggal, wantilan untuk tempat pertemuan. Bangunan-bangunan tradisional dikelompokan dalam fungsi-fungsi sebagai tempat pemujaan, tempat tinggal, dan tempat umum. Unit terkecil adalah tempat pemujaan keluarga, di masing-masing rumah tangga disebut sanggah atau pamerajan. Bangunannya kemulan dan taksu dilengkapi dengan beberapa bangunan yang dipandang perlu. Untuk tempat pemujaan keluarga besar disebut dadia (satu keturunan) dan kawitan (satu warga) dengan bangunan pokok pajenengan dan paibon dilengkapi dengan bangunan-bangungan pelinggih lainnya sesuai dengan pemujaan yang dilakukan dan beberapa bangunan pelengkap yang diperlukan. Untuk unit-unit  banjar ada tugu banjar dan untuk tingkat desa adat ada kahyangan tiga (pura desa, puseh, dan dalem) yang disiwi oleh seluruh warga desanya. Pura penunggu, dibangun di tempat-tempat yang dipandang angker, ada penunggunya seperti goa, sungai, mata air, dan tempat-tempat yang sering terjadi kecelakaan. Pura pengulu, untuk tempat-tempat pemujaan kelompok seprofesi pura Ulun Subak (petani), pura Ulun Segara (nelayan) pura Ulun Pasar (pedagang, dan pura untuk kelompok-kelompok kerja lainnya).
Pura Siwi, sebagai tempat pemujaan di tempat-tempat tertentu sehubungan dengan pembinaan dan perjalanan suci para tokoh agama pada awal penyebarannya. Pura Siwi merupakan tempat pemujaan umum, diemong masyarakat sekitarnya dan diempon penguasa wilayah (raja pada masa kerajaan) dan umumnya memiliki tanah untuk sumber biaya.
Pura Khayangan Jagat, tempat pemujaan yang bersifat umum bagi semua desa, semua warga, semua profesi dapat melakukan pemujaan di pura khayangan jagat yang upacara pemujaann umumnya sekali dalam setahun. Pengempon pura, desa terdekat dan pengempongnya raja atau penguasa wilayah dengan dana punia dapat dari tanah pelaba milik pura atau umat penyiwi.
Bangunan-bangunan tempat pemujaan dibangun dengan tipe-tipe tugu (kecil) dan candi (besar) dari susunan pasangan batu, batur-badan dan kepala atau atap dengan proporsi tertentu. Padmasana dari tipe terkecil (padmacapah), tipe sedang (padmasari), tipe besar (padmasana) yang lengkap dengan bedawangnala, juga dibangun dengan susunan pasangan batu, batur, badan dan kepala tanpa atap hanya dalam bentuk stana di bagian atas. Gedong dengan berbagai tipe, jumlah tiang dan susunan ruang tergantung pada fungsi pemujaan dibangun dari kerangka kayu dan bebaturan pasangan batu. Meru dengan atap tumpang ganjil dari tumpang tiga sampai tumpang sebelas sesuai fungsi pemujaan, dibangun dari rangka batang kayu untuk parhyangan dan bebaturan pasangan batu. Untuk bahngunan tempat pemujaan atapnya dari ijuk atau alang-alang.
Pernikahan adat bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang pencipta, semua tahapan pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria, karena masyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki – laki. Pengantin wanita akan diantarkan kembali pulang ke rumahnya untuk meminta izin kepada orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa hari setelah upacara pernikahan.
Beberapa upacara yang ada di bali, sebagai berikut:
a.    Upacara 3 Bulanan dan Otonan
Urutan upacara :
·         ayah dan ibu bayi mebeakala dengan tujuan menghilangkan cuntaka karena melahirkan.
·         Nyama bajang dan kandapat "diundang" untuk dihaturi sesajen sebagai ucapan terima kasih karena telah merawat bayi sejak dalam kandungan sampai lahir dengan selamat. Tattwa yang sebenarnya adalah syukuran kehadapan Hyang Widhi atas kelahiran bayi.
·         Si Bayi natab banten bajang colong artinya menerima lungsuran (prasadam) dari "kakaknya" yaitu kandapat (plasenta : ari-ari, getih, lamas, yeh-nyom)
·         Si Bayi "mepetik" (potong rambut, terus digundul, menghilangkan rambut "kotor" yang dibawa sejak lahir).
·         Si Bayi "mapag rare" (disambut kelahirannya) di Sanggah pamerajan, memberi nama, dan menginjakkan kaki pertama kali di tanah didepan Kemulan.
·         Si Bayi menerima lungsuran (prasadam) Hyang Kumara yaitu manifestasi Hyang Widhi yang menjaga bayi.
·          Si Bayi "mejaya-jaya" dari Sulinggih, yaitu disucikan oleh Pendeta.
Symbol (niyasa) yang digunakan dalam upacara Tiga Bulanan : Regek yaitu anyaman 108 helai daun kelapa gading berbentuk manusia, sebagai symbol Nyama Bajang; Papah yaitu pangkal batang daun kelapa gading sebagai symbol ari-ari, Pusuh yaitu jantung pisang sebagai symbol getih (darah), Batu sebagai symbol yeh-nyom, Blego sebagai symbol lamas, ayam sebagai symbol atma, sebuah periuk tanah yang pecah sebagai symbol kandungan yang sudah melahirkan bayi, lesung batu sebagai symbol kekuatan Wisnu, pane symbol Windu (Hyang Widhi), air dalam pane symbol akasa, tangga dari tebu kuning sepanjang satu hasta diberi palit (anak tangga) tiga buah dari kayu dapdap symbol Smara-Ratih (Hyang Widhi yang memberi panugrahan kepada suami-istri). Upacara otonan lebih sederhana dari tiga bulanan, karena tujuannya mengucapkan syukur kepada Hyang Widhi atas karunia berupa panjang umur, serta mohon keselamatan dan kesejahteraan. Di Bali dibuatkan tataban di Sanggah pamerajan yang dinamakan upacara "mapinton" yaitu memperkenalkan dan melaporkan kelahiran si bayi kepada roh leluhur yang distanakan di Sanggah Pamerajan.
b.    Upacara Adat Kematian
Tata cara menurut Upacara Agama Hindu dan Tata Cara Nasional.
Tata Cara Menurut Agama Hindu.
·         Perawatan Jenazah :
Terlebih dahulu jenazah harus dimandikan dengan air tawar yang bersih dan sedapat mungkin dicampur dengan wangi- wangian.  Setelah itu diberi secarik kain putih untuk menutupi bagian muka wajah dan bagian alat kelaminnya. Kemudian barulah diberi pesalin dengan kain atau baju yang baru (bersih), rambutnya dirapikan (perempuan : rambutnya digulung sesuai dengan arah jarum jam), posisi tangan dengan sikap "menyembah" ke bawah. Setelah itu dibungkus dengan kain putih. Pada saat membungkus jenazah tersebut supaya diperhatikan hal- hal sebagai berikut : Bila jenazah itu laki- laki maka lipatan kainnya: yang kanan menutupi yang kiri, dan bila perempuan maka lipatan kainnya: yang kiri menutupi yang kanan. Setelah terbungkus rapi ikatlah bagian ujung (kepala dan kaki) serta bagian tengah jenazah yang bersangkutan dengan benang atau sobekan kain pembungkus tadi. Setelah selesai perawatan di atas, barulah jenazah tersebut disemayamkan di tempat yang telah ditetapkan.
·         Tata Cara Pelaksanaan Upacara.
Tata cara upacara yang mungkin dapat dilaksanakan adalah upacara darurat yang dalam hal ini harus dipimpin oleh seseorang yang beragama Hindu yang ada dalam kapal/ tempat tersebut yaitu : Paling tidak ada sebuah "punjung" atau hidangan yang materinya terdiri dari: sepiring nasi dilengkapi, dengan lauk pauk seadanya, air minum, air wijikan, rokok dan lain- lain sebagaimana santapan biasa. Pimpinan upacara menyuguhkan mendiang untuk menikmati punjung/ hidangan tersebut disertai dengan ucapan bahasa sehari- hari. Catatan: Punjung/ hidangan disuguhkan di sebelah kanan jenazah yakni di antara leher dan pusarnya. Selanjutnya pimpinan upacara mohon persaksian (sembahyang) yang kalau situasi memungkinkan agar memakai sarana dupa (api) ke hadapan Bhatara Surya (Sang Hyang Widhi/ Tuhan) dan ke hadapan Bhatara Baruna. Akhirnya jenazah tersebut supaya dititipkan ke hadapan ibu Pertiwi. Bila nanti oleh keluarga yang bersangkutan berniat untuk mengabenkannya, cukup ngendag dari setra (kuburan) dan pengulapan di marga tiga (simpang tiga). Kemudian tibalah saatnya menurunkan jenazah ke tengah laut yang disertai dengan pesan seperlunya. Posisi jenazah pada saat diturunkan ke tengah laut kepalanya supaya mengarah pada matahari terbit. Pada saat ini diikuti dengan penghormatan terakhir oleh segenap hadirin, kalau mungkin disertai dengan taburan bunga.
Dipulau sekecil bali terdapat berbagai macam agama dengan perbandingan pemeluk agama satu dengan yang lainnya adalah sebagai berikut : pemeluk Agama Hindu 2.334.229 orang (96 %), Agama Islam 132.701 (2,5 %), Agama Protestan 12.609 (0,5 %), Agama Khatolik 8.405 (0,5 %), dan Agama Budha 14.041 (0,5 %). Oleh karena penduduk Bali sbagian besar penganut Agama Hindu maka corak masyarakat Bali terutama di pedesaan akan tampak sangat khas.
Keyakinan umat Hindu terhadap keberadaan Tuhan/Hyang Widhi yang Wyapi Wyapaka atau ada di mana-mana juga di dalam diri sendiri merupakan tuntunan yang selalu mengingatkan keterkaitan antara karma atau perbuatan dan pahala atau akibat, yang menuntun prilaku manusia ke arah Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya manacika, wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik.
Umat Hindu percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi karunia Tuhan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan guna kelangsungan hidup mereka. Karena itu tuntunan sastra Agama Hindu mengajarkan agar alam semesta senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya yang dalam pemahamannya diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, yaitu:
Hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. Karena itu dalam satu komunitas masyarakat Bali yang disebut Desa Adat dapat dipastikan terdapat sarana Parhyangan atau Pura, disebut sebagai Kahyangan Tiga, sebagai media dalam mewujudkan hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman.
Hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Pelaksanaan berbagai bentuk upcara persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh umat Hindu disebut Yadnya atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai bentuk atas dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada hakekatnya tidak terlepas dari Tri Hita Karana dengan unsur-unsur Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Didukung dengan berbagai filosofi agama sebagai titik tolak ajaran tentang ke-Mahakuasa-an Tuhan, ajaran Agama Hindu menggariskan pelaksanaan Yadnya dalam lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yang diurai menjadi:
1. Dewa Yadnya
Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga) sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai piodalan, aci, atau pujawali.
2. Pitra Yadnya
Penghormatan kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan, memelihara, dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan berkeluarga. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa hidup, akan menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga yang masih hiduplah sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan tahap penyatuan tersebut berlangsung dengan baik.
3. Rsi Yadnya
Persembahan dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi pekerti dalam bertingkah laku.
4. Manusia Yadnya
Suatu proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri beserta keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali, terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir, tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah wujud upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
5. Bhuta yadnya
Prosesi persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber daya alam semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam semesta dibentuk dari unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari Akasa (ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan Pertiwi (zat padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya (binatang dan tumbuhan)
Panca Maha Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar, jika tidak dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta. Perhatian terhadap kelestarian alam inilah yang membuat upacara Bhuta Yadnya sering dilakukan oleh umat Hindu baik secara insidentil maupun secara berkala. Bhuta Yadnya memiliki tingkatan mulai dari upacara masegeh berupa upacara kecil dilakukan setiap hari hingga upacara caru dan tawur agung yang dilakukan secara berkala pada hitungan wuku (satu minggu), sasih (satu bulan), sampai pada hitungan ratusan tahun.
Dibawah ini merupakan Nilai – nilai budaya bali
1. Tata krama : kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya.
2. Nguopin : gotong royong.
3. Ngayah atau ngayang : kerja bakti untuk keperluan agama.
4. Sopan santun : adat hubungan dalam sopan pergaulan

Sumber :

Nama : Ika Nurjanah
NPM   : 53412577
Kelas  : !IA10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar