KEBUDAYAAN
BALI
Bali merupakan tempat kelahiran dari Kolonel
TNI
Anumerta
I Gusti Ngurah Rai (lahir di
Desa Carangsari, Petang,
Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda,
30 Januari
1917 – meninggal
di Marga, Tabanan, Bali, Indonesia,
20 November
1946
pada umur 29 tahun) adalah seorang pahlawan
Indonesia
dari Kabupaten Badung, Bali. Ngurah Rai memiliki pasukan yang
bernama "Ciung Wenara" melakukan pertempuran terakhir
yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa bali, berarti
"habis-habisan", sedangkan Margarana berarti "Pertempuran di
Marga"; Marga adalah sebuah desa ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan,
Bali)
Selain
itu bali terkenal dengan kebudayaannya, bali berbatasan dengan Laut Bali di
sebelah utaranya, sebelah
timur berbatasan dengan Selat Lombok (Povinsi Nusa Tenggara Barat),
sebelah barat
berbatasan dengan Selat Bali (Povinsi Jawa Timur), sebelah selatan
berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Luas total wilayah Provinsi Bali
adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km.
Lambang
Daerah Bali berbentuk segi lima dengan warna dasar biru tua dengan garis
dipinggir putih. Di dalam segi lima ini terdapat lukisan-lukisan yang merupakan
unsur dari lambang, yaitu bintang kuning emas yang melambangkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, candi yang tertera di tengah-tengah ialah diambil dari candi
Margarana yang melabangkan jiwa kepahlawanan rakyat Bali dalam menentang
penjajah, candi bentar yang artistic merupakan lambing keagamaan rakyat Bali, rantai
yang melintang dari kiri ke kanan melambangkan persatuan dan jiwa gotong-royong
, kipas yang terlukis sebelah kiri dan kanan bunga teratai melambangkan
kesenian dan kebudayaan daerah Bali, bunga teratai (padma) yang terlukis
sebagai dasar di bawah candi melambangkan singgasana Ciwa, padi dan kapas
melambangkan kemakmuran.
Warna
yang terpakai dalam lambang seperti: biru tua yang mendasari lambing ini, yang
disertai tulisan “Bali Dwipa Jaya”, berarti ‘toleransi’, kuning emas yang
mewarnai gambar bintang, candi, candi bentar, pinggiran padi, kapas dan kipas
ini melambangkan maksud yang luhur dan agung, merah yang mewarnai gambar
rantai, padma di muka candi mengandung arti sifat yang perwira; dan putih yang mewarnai dasar tulisan, bunga kapas, buah padi,
dan pinggiran lambing berarti suci.
Bahasa
Bali adalah bahasa masyarakat Bali. Bahasa itu juga salah satu unsur budaya
nasional bangsa Indonesia. Bagi rakyat Bali selain berfungsi sebagai alat
komunikasi vocal, juga berfungsi sebagai penunjuk identitas rakyat Bali. Bahasa
Bali sangat menarik sejumlah peneliti, baik peneliti asing, maupun peneliti
bangsa Indonesia. Peneliti bangsa Indonesia terutama peneliti penutur bahasa
Bali yang umumnya berdomisili di Bali.
Fungsi
bahasa Bali seperti dirumuskan dalam polotik bahasa nasional (Halim (edit.)
1976 : 146 ) adalah lambang kebanggaan daerah Bali, identitas daerah Bali,
pendukung bahasa nasional Indonesia, alat penghubung dalam keluarga etnik Bali,
bahasa pengantar di sekolah-sekolah dalam kelas tertentu, dan juga alat
pengembangan kebudayaan Bali. Bahasa Bali sebagai pendukung bahada nasional
Indonesia berfungsi untuk mengembangkan kosa kata bahasa Indonesia.
Di bali seni
tari digolongkan ke dalam seni teater yang mengandung tiga unsur, yakni penonton,
tempat, pemain. Oleh karena itu teater meliputi seluruh seni pertunjukan yang
terdiri dari seni pentas (drama), seni tari, seni music (karawitan) dan seni
gerak lainnya. Tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan
gerak-gerak ritmis yang indah” (Soedarsono, tanpa tahun :17).
Terdapat
beberapa jenis tari yang mempunyai fungsi tertentu seperti tari pendet yang berfungsi
sebagai tari penyambutan yang ditunjukan kepada bhatara-bhatari yang turun ke mrcapada (dunia) dalam suatu upacara atau manyembrama (menerima)
kedatangan-Nya dari Melasti (menyucikan pralingga), tari rejang
berfungsi sebagai symbol bidadari yang turun ke dunia menuntun bhatara waktu
melasti atau tedun ke peselang (turun ke temapat upacara), oleh karena itu
penari-penarinya terdiri dari gadis-gadis yang belum kawin (Putra, tanpa tahun
: 9 ). Di Bali Utara desa Bungkulan, rejang-renteng (bergandengan dengan
benang) berfungsi sebagai tari penyambutan terhadap dewi Cri sebagai pernyataan
bersyukur karena berhasilnya panen padi.
Di
Bali terdapat berbagai jenis perangkat/ansambel gamelan yang sudah berusia
ratusan tahun yang merupakan peninggalan dari zaman kerajaan Bali dan ada pula
buatan akhir-akhir ini pada abad ke-20.
Ada
gambelan yang hanya mengiringi upacara saja, ada ansambel yang berfungsi
sebagai pengiring tarian-tarian, baik tari lepas, tari lakon, maupun
sendratari. Dibawah ini beberapa jenis
gambelan mempunyai fungsi sebagai berikut.
a.
Gong Gede
disamping ditabuh secara instrumental sebagai pengiring suatu upacara agama,
berfungsi pula sebagao pengirinh berbagai jenis ari baris gede yang digolongkan
tari wali (dewayadnya),
b.
Angklung untuk
pengiring upacara pitrayadnya (orang meninggal, ngaben, mukur, dan sebagainya),
c.
Gambang
pada umumnya untuk mengiringi Upacara ngaben, kecuali di daerah Karangasem yang
berfungsi pula di dalam Dewayadnya,
d.
Gender Wayang dan Semara Pegulingan pada umumnya berfungsi mengiringi
upacara Manusiayadnya (ualang tahun, Potong gigi, perkawinan),
e.
Balaganjur/Paleganjur di samping berfungsi sebagai pengiring upacara mecaru
(buthayadnya) juga untuk Dewayadnya.
Di
bali terdapat tempat atau bangunan sebagai tempat pemujaan seperti Meru untuk
tempat pemujaan, bale mten untuk tempat tinggal, wantilan untuk tempat
pertemuan. Bangunan-bangunan tradisional dikelompokan dalam fungsi-fungsi
sebagai tempat pemujaan, tempat tinggal, dan tempat umum. Unit terkecil adalah
tempat pemujaan keluarga, di masing-masing rumah tangga disebut sanggah atau
pamerajan. Bangunannya kemulan dan taksu dilengkapi dengan beberapa bangunan
yang dipandang perlu. Untuk tempat pemujaan keluarga besar disebut dadia (satu
keturunan) dan kawitan (satu warga) dengan bangunan pokok pajenengan dan paibon
dilengkapi dengan bangunan-bangungan pelinggih lainnya sesuai dengan pemujaan
yang dilakukan dan beberapa bangunan pelengkap yang diperlukan. Untuk
unit-unit banjar ada tugu banjar dan untuk tingkat desa adat ada
kahyangan tiga (pura desa, puseh, dan dalem) yang disiwi oleh seluruh warga
desanya. Pura penunggu, dibangun di tempat-tempat yang dipandang angker, ada
penunggunya seperti goa, sungai, mata air, dan tempat-tempat yang sering
terjadi kecelakaan. Pura pengulu, untuk tempat-tempat pemujaan kelompok
seprofesi pura Ulun Subak (petani), pura Ulun Segara (nelayan) pura Ulun Pasar
(pedagang, dan pura untuk kelompok-kelompok kerja lainnya).
Pura
Siwi, sebagai tempat pemujaan di tempat-tempat tertentu sehubungan dengan
pembinaan dan perjalanan suci para tokoh agama pada awal penyebarannya. Pura
Siwi merupakan tempat pemujaan umum, diemong masyarakat sekitarnya dan diempon
penguasa wilayah (raja pada masa kerajaan) dan umumnya memiliki tanah untuk
sumber biaya.
Pura
Khayangan Jagat, tempat pemujaan yang bersifat umum bagi semua desa, semua
warga, semua profesi dapat melakukan pemujaan di pura khayangan jagat yang
upacara pemujaann umumnya sekali dalam setahun. Pengempon pura, desa terdekat
dan pengempongnya raja atau penguasa wilayah dengan dana punia dapat dari tanah
pelaba milik pura atau umat penyiwi.
Bangunan-bangunan
tempat pemujaan dibangun dengan tipe-tipe tugu (kecil) dan candi (besar) dari
susunan pasangan batu, batur-badan dan kepala atau atap dengan proporsi
tertentu. Padmasana dari tipe terkecil (padmacapah), tipe sedang (padmasari),
tipe besar (padmasana) yang lengkap dengan bedawangnala, juga dibangun dengan
susunan pasangan batu, batur, badan dan kepala tanpa atap hanya dalam bentuk
stana di bagian atas. Gedong dengan berbagai tipe, jumlah tiang dan susunan
ruang tergantung pada fungsi pemujaan dibangun dari kerangka kayu dan bebaturan
pasangan batu. Meru dengan atap tumpang ganjil dari tumpang tiga sampai tumpang
sebelas sesuai fungsi pemujaan, dibangun dari rangka batang kayu untuk
parhyangan dan bebaturan pasangan batu. Untuk bahngunan tempat pemujaan atapnya
dari ijuk atau alang-alang.
Pernikahan adat bali sangat diwarnai dengan
pengagungan kepada Tuhan sang pencipta, semua tahapan pernikahan dilakukan di
rumah mempelai pria, karena masyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki,
sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk
hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki – laki. Pengantin
wanita akan diantarkan kembali pulang ke rumahnya untuk meminta izin kepada
orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa hari setelah upacara
pernikahan.
Beberapa
upacara yang ada di bali, sebagai berikut:
a.
Upacara 3 Bulanan dan Otonan
Urutan upacara :
·
ayah dan ibu bayi mebeakala
dengan tujuan menghilangkan cuntaka karena melahirkan.
·
Nyama bajang dan kandapat
"diundang" untuk dihaturi sesajen sebagai ucapan terima kasih karena
telah merawat bayi sejak dalam kandungan sampai lahir dengan selamat. Tattwa
yang sebenarnya adalah syukuran kehadapan Hyang Widhi atas kelahiran bayi.
·
Si Bayi natab banten bajang
colong artinya menerima lungsuran (prasadam) dari "kakaknya" yaitu
kandapat (plasenta : ari-ari, getih, lamas, yeh-nyom)
·
Si Bayi "mepetik"
(potong rambut, terus digundul, menghilangkan rambut "kotor" yang
dibawa sejak lahir).
·
Si Bayi "mapag
rare" (disambut kelahirannya) di Sanggah pamerajan, memberi nama, dan
menginjakkan kaki pertama kali di tanah didepan Kemulan.
·
Si Bayi menerima lungsuran
(prasadam) Hyang Kumara yaitu manifestasi Hyang Widhi yang menjaga bayi.
·
Si Bayi "mejaya-jaya" dari Sulinggih, yaitu
disucikan oleh Pendeta.
Symbol (niyasa) yang digunakan dalam upacara Tiga Bulanan :
Regek yaitu anyaman 108 helai daun kelapa gading berbentuk manusia, sebagai
symbol Nyama Bajang; Papah yaitu pangkal batang daun kelapa gading sebagai
symbol ari-ari, Pusuh yaitu jantung pisang sebagai symbol getih (darah), Batu
sebagai symbol yeh-nyom, Blego sebagai symbol lamas, ayam sebagai symbol atma,
sebuah periuk tanah yang pecah sebagai symbol kandungan yang sudah melahirkan
bayi, lesung batu sebagai symbol kekuatan Wisnu, pane symbol Windu (Hyang
Widhi), air dalam pane symbol akasa, tangga dari tebu kuning sepanjang satu
hasta diberi palit (anak tangga) tiga buah dari kayu dapdap symbol Smara-Ratih
(Hyang Widhi yang memberi panugrahan kepada suami-istri). Upacara otonan lebih sederhana dari tiga bulanan,
karena tujuannya mengucapkan syukur kepada Hyang Widhi atas karunia berupa
panjang umur, serta mohon keselamatan dan kesejahteraan. Di Bali dibuatkan tataban di Sanggah pamerajan yang
dinamakan upacara "mapinton" yaitu memperkenalkan dan melaporkan
kelahiran si bayi kepada roh leluhur yang distanakan di Sanggah Pamerajan.
b.
Upacara
Adat Kematian
Tata
cara menurut Upacara Agama Hindu dan Tata Cara Nasional.
Tata
Cara Menurut Agama Hindu.
·
Perawatan
Jenazah :
Terlebih dahulu jenazah harus
dimandikan dengan air tawar yang bersih dan sedapat mungkin dicampur dengan
wangi- wangian. Setelah itu diberi secarik kain
putih untuk menutupi bagian muka wajah dan bagian alat kelaminnya. Kemudian
barulah diberi pesalin dengan kain atau baju yang baru (bersih), rambutnya
dirapikan (perempuan : rambutnya digulung sesuai dengan arah jarum jam), posisi
tangan dengan sikap "menyembah" ke bawah. Setelah itu dibungkus
dengan kain putih. Pada saat membungkus jenazah tersebut supaya diperhatikan
hal- hal sebagai berikut : Bila
jenazah itu laki- laki maka lipatan kainnya: yang kanan menutupi yang kiri, dan
bila perempuan maka lipatan kainnya: yang kiri menutupi yang kanan. Setelah
terbungkus rapi ikatlah bagian ujung (kepala dan kaki) serta bagian tengah
jenazah yang bersangkutan dengan benang atau sobekan kain pembungkus tadi.
Setelah selesai perawatan di atas, barulah jenazah tersebut disemayamkan di
tempat yang telah ditetapkan.
·
Tata
Cara Pelaksanaan Upacara.
Tata cara upacara yang mungkin
dapat dilaksanakan adalah upacara darurat yang dalam hal ini harus dipimpin
oleh seseorang yang beragama Hindu yang ada dalam kapal/ tempat tersebut yaitu
: Paling tidak ada sebuah "punjung" atau hidangan yang materinya
terdiri dari: sepiring nasi dilengkapi, dengan lauk pauk seadanya, air minum,
air wijikan, rokok dan lain- lain sebagaimana santapan biasa. Pimpinan upacara
menyuguhkan mendiang untuk menikmati punjung/ hidangan tersebut disertai dengan
ucapan bahasa sehari- hari. Catatan: Punjung/ hidangan disuguhkan di sebelah
kanan jenazah yakni di antara leher dan pusarnya. Selanjutnya pimpinan upacara
mohon persaksian (sembahyang) yang kalau situasi memungkinkan agar memakai
sarana dupa (api) ke hadapan Bhatara Surya (Sang Hyang Widhi/ Tuhan) dan ke
hadapan Bhatara Baruna. Akhirnya jenazah tersebut supaya dititipkan ke hadapan
ibu Pertiwi. Bila nanti oleh keluarga yang bersangkutan berniat untuk
mengabenkannya, cukup ngendag dari setra (kuburan) dan pengulapan di marga tiga
(simpang tiga). Kemudian
tibalah saatnya menurunkan jenazah ke tengah laut yang disertai dengan pesan
seperlunya. Posisi jenazah pada saat diturunkan ke tengah laut kepalanya supaya
mengarah pada matahari terbit. Pada saat ini diikuti dengan penghormatan
terakhir oleh segenap hadirin, kalau mungkin disertai dengan taburan bunga.
Dipulau
sekecil bali terdapat berbagai macam agama dengan perbandingan pemeluk agama
satu dengan yang lainnya adalah sebagai berikut : pemeluk Agama Hindu 2.334.229
orang (96 %), Agama Islam 132.701 (2,5 %), Agama Protestan 12.609 (0,5 %),
Agama Khatolik 8.405 (0,5 %), dan Agama Budha 14.041 (0,5 %). Oleh karena
penduduk Bali sbagian besar penganut Agama Hindu maka corak masyarakat Bali
terutama di pedesaan akan tampak sangat khas.
Keyakinan
umat Hindu terhadap keberadaan Tuhan/Hyang Widhi yang Wyapi Wyapaka atau ada di
mana-mana juga di dalam diri sendiri merupakan tuntunan yang selalu
mengingatkan keterkaitan antara karma atau perbuatan dan pahala atau akibat,
yang menuntun prilaku manusia ke arah Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya
manacika, wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan
yang baik.
Umat
Hindu percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan
sekaligus menjadi karunia Tuhan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan guna
kelangsungan hidup mereka. Karena itu tuntunan sastra Agama Hindu mengajarkan
agar alam semesta senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya yang dalam
pemahamannya diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga jalan
menuju kesempurnaan hidup, yaitu:
Hubungan
manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam bentuk ajaran
agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan
kepada Tuhan. Karena itu dalam satu komunitas masyarakat Bali yang disebut Desa
Adat dapat dipastikan terdapat sarana Parhyangan atau Pura, disebut sebagai
Kahyangan Tiga, sebagai media dalam mewujudkan hubungan manusia dengan Ida Sang
Hyang Widhi. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau
badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya
(pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman.
Hubungan
manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu
wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah
tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Pelaksanaan
berbagai bentuk upcara persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa oleh umat Hindu disebut Yadnya atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai
bentuk atas dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada hakekatnya
tidak terlepas dari Tri Hita Karana dengan unsur-unsur Tuhan, alam semesta, dan
manusia.
Didukung
dengan berbagai filosofi agama sebagai titik tolak ajaran tentang
ke-Mahakuasa-an Tuhan, ajaran Agama Hindu menggariskan pelaksanaan Yadnya dalam
lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yang diurai menjadi:
1.
Dewa Yadnya
Persembahan
dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya
dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga)
sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai
piodalan, aci, atau pujawali.
2.
Pitra Yadnya
Penghormatan
kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan,
memelihara, dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan berkeluarga.
Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua dan keluarga
yang telah meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa hidup, akan
menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga yang masih hiduplah
sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan tahap penyatuan tersebut
berlangsung dengan baik.
3.
Rsi Yadnya
Persembahan
dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah
menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi pekerti dalam
bertingkah laku.
4.
Manusia Yadnya
Suatu
proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri beserta
keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali,
terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir,
tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara
magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah wujud
upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
5.
Bhuta yadnya
Prosesi
persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber daya alam
semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam semesta dibentuk dari
unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari Akasa
(ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan Pertiwi (zat
padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang
wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya (binatang dan
tumbuhan)
Panca
Maha Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar, jika tidak dikendalikan dan
tidak dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam
semesta. Perhatian terhadap kelestarian alam inilah yang membuat upacara Bhuta
Yadnya sering dilakukan oleh umat Hindu baik secara insidentil maupun secara
berkala. Bhuta Yadnya memiliki tingkatan mulai dari upacara masegeh berupa
upacara kecil dilakukan setiap hari hingga upacara caru dan tawur agung yang
dilakukan secara berkala pada hitungan wuku (satu minggu), sasih (satu bulan),
sampai pada hitungan ratusan tahun.
Dibawah
ini merupakan Nilai – nilai budaya bali
1. Tata krama : kebiasaan sopan santun yang
di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya.
2. Nguopin : gotong royong.
3. Ngayah atau ngayang : kerja bakti untuk keperluan agama.
4. Sopan santun : adat hubungan dalam sopan pergaulan
2. Nguopin : gotong royong.
3. Ngayah atau ngayang : kerja bakti untuk keperluan agama.
4. Sopan santun : adat hubungan dalam sopan pergaulan
Sumber
:
Nama : Ika Nurjanah
NPM : 53412577
Kelas : !IA10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar